SLB Marganingsih - Berdoa untuk memohon agar Tuhan hadir mendampingi dan menolongnya menjalani kehidupan, adalah kebiasaan yang sejak lama dilakukannya. Sejak menjadi Katolik, dia rajin memperdalam imannya, dengan membaca Alkitab maupun buku atau majalah tentang iman Katolik.
Bu Ratno lahir bukan dari keluarga Katolik. Dia tertarik menjadi Katolik setelah menyaksikan buliknya yang Katolik hidup tenteram. Atas keinginan sendiri, 21 Desember 1955 dia dibaptis menjadi Katolik. Sampai akhir hayatnya, ayahnya Hardjo Prawiro bukan katolik, tetapi ibunya Maria Goreti dan semua keluarga besarnya akhirnya menjadi Katolik.
Hal yang paling menarik baginya ketika memutuskan menjadi Katolik adalah bahwa sebuah perkawinan tak terceraikan.
Ibu 4 orang anak ini, pada 17 November 1957 menikah dengan dengan Engelbertus Suratno. Salah seorang putranya adalah Rm. B Herry Priyono, SJ dan sekarang berkarya di STF Driyarkara Jakarta.
Ibu 4 orang anak ini, pada 17 November 1957 menikah dengan dengan Engelbertus Suratno. Salah seorang putranya adalah Rm. B Herry Priyono, SJ dan sekarang berkarya di STF Driyarkara Jakarta.
Sampai sekarang, Bu Ratno tetap memperdalam imannya. Dia masih rajin membaca Alkitab atau majalah Hidup. Dia juga rajin menghadiri Sekolah Iman di Gereja St. Petrus & Paulus Babadan. Atas pertanyaan apa yang mendorongnya melakukan semua itu, dia menjawab bahwa imannya belum cukup dalam dan iman memang harus terus dikembangkan dan diperdalam.
Dengan penghayatan iman yang terus dikembangkan, Bu Ratno merasakan, berkat kehadiran Tuhan mendampinginya, sesulit apa pun kehidupan yang harus ditempuh tidak lagi menjadi persoalan.
Itu dialaminya sejak mengikuti Pak Ratno yang ditugaskan menjadi Kepala SD di Piyungan setelah menikah tahun 1957. Bu Ratno masih ingat, ketika itu gaji pegawai negeri hanya Rp 500 per bulan. Tidak cukup untuk biaya hidup. Sebagaimana penduduk sekitar, dia juga mengalami akibat kesulitan hidup saat itu, sering harus makan tiwul.
Dia sendiri tidak berpenghasilan lagi, karena begitu menikah berhenti menjadi guru SD Kanisius Kalasan. Bu Ratno mengajar di SDK Kalasan sejak tahun 1955, setelah lulus SGA di Yogyakarta.
Semua kesulitan itu bisa dilaluinya dengan tabah. Setiap kali kesulitan datang, selalu tiba-tiba datang pertolongan dari Tuhan berupa petunjuk apa yang harus dia lakukan. Petunjuk itu muncul begitu saja dalam bentuk gagasan, yang ketika dia laksanakan ternyata berhasil. SLB Marganingsih Begitu juga yang dialami saat merintis SLB Marganingsih tahun 1963. Dia mengenang, tiba-tiba saja muncul keprihatian dan rasa kasihan melihat banyak keluarga yang memiliki anak cacat tapi malu dan bahkan ada yang memasung anak cacat mereka.
Bu Ratno berpikir harus ada yang peduli kepada para anak cacat. Semula dia mendatangi Dinas Sosial dan beberapa kongregasi dan menawarkan agar lembaga tersebut mengurus anak-anak cacat itu. Semua menolak dengan berbagai alasan.
Penolakan itu tidak membuatnya putus asa. Dia sadar, memiliki keprihatinan dan rasa kasihan saja tidak cukup. Imannya memang mengajarkan hukum cinta kasih, harus mengasihi yang lain. Namun imannya juga mengajarkan kasih tanpa perbuatan tidak bermakna apa-apa.
Akhirnya dia mengasuh sendiri asuh anak-anak tersebut dengan pendamping 3 guru perempuan yang semuanya mau bekerja tidak dibayar. “Kalau ada buah papaya matang, itu menjadi upah mereka,” tutur Bu Ratno. Murid pertama SLB Marganingsih, berjumlah 12 anak, diperoleh dengan mendatangi orangtua setiap anak dari pintu ke pintu.
Mula-mula orangtua para anak cacat itu tidak yakin ada manfaat kalau anak-anak mereka bersekolah. Namun Bu Ratno berusaha keras meyakinkan mereka. Dikatakan, kalau tidak dididik, anak-anak itu tidak akan pernah bisa apa-apa. Makan harus dibantu, mandi harus dibantu, begitu juga untuk berpakaian. Mereka akan terus tergantung penuh pada orangtua.
Seluruh kegiatan, mulai dari memandikan dan belajar dilakukan di rumahnya. Ruang di belakang rumahnya dipakai untuk sekolah anak-anak cacat itu. Sementara 3 orang guru sukarela itu – ketiganya akhirnya menjadi guru PNS – juga tinggal bersama dengan keluarganya. Sedangkan untuk administrasi sekolah dia belajar pada Cecilia Hartini yang saat itu adalah Kepala Sekolah SMAK Stella Duce.
Itulah awal pendirian SLB Marganingsih. Untuk membiayai sekolah tersebut, tak kenal lelah dia mengetuk pintu. “Saya ngemis ke mana-mana, ke donator perseorangan, termasuk kepada Ratu Hemas,” ceritanya.
Ketika ditanya apakah pernah ditolak ketika minta donasi untuk keberlangsungan sekolah itu, dia mengatakan: “Oalah, kok ditolak, ditendang pun pernah, dan gak apa-apa. Gak memberi gak apa-apa, doakan saja.” Dari seluruh upayanya mencari dana, hanya 30 persen yang berhasil.
Titik terang mulai mendatangi Rotary Club. Perkumpulan ini mau memberi bantuan dana. Bukan itu saja,. Rotary Club juga bersedia mencari donatur ke luar negeri, seperti dari Selandia Baru, Belanda, Jepang.”
Saat ini SLB Marganingsih sudah tertata dengan baik dan dikelola secara profesional. Subsidi dalam bentuk dana BOS dari Dinas Pendidikan juga diterima.
Hal yang membuatnya tetap prihatin, peminat ke SLB tetap kecil, sekalipun banyak keluarga yang memiliki anak cacat. “Itu karena para orangtua berpandangan, kalaupun sekolah, akhirnya anak mereka yang cacat itu tetap tidak bisa hidup mandiri.”
Empat Sekolah.
Bu Ratno tidak hanya mendirikan SLB Marganingsih. Dia juga ikut mendirikan TK Indriyasana, TK Indriyarini, dan SMP Sanjaya (sudah tutup 1998).
Ide mendirikan sekolah itu adalah adopsi ide dari Pak Ratno yang ketika itu selain menjabat sebagai kepala sekolah di SD Piyungan, juga aktif dalam program pemberantasan buta huruf. Saat ini TK Indriyasana dikelola oleh WKRI, sementara TK Indriyarini dikelola oleh pedukuhan Pokoh.(PRonP/MEttyTriP)***. (Source : Paroki St. Petrus & Paulus Babadan)
No comments:
Post a Comment